06 Agustus 2025
/
Bisnis
Desa Kini Prioritaskan Dana untuk Edukasi Kespro bagi Remaja
Sejumlah desa di Indonesia kini mulai mengarahkan dana desa untuk hal yang tak kalah penting: edukasi kesehatan reproduksi (kespro) bagi remaja serta pencegahan kekerasan seksual dan perkawinan anak. Transformasi ini mencerminkan tumbuhnya kesadaran bahwa pembangunan sumber daya manusia, terutama generasi muda, adalah kunci masa depan desa.
Salah satu pionir dalam transformasi ini adalah Desa Harjomulyo di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Pada 2022, desa ini menjadi yang pertama mengalokasikan dana desa khusus untuk kegiatan edukasi kesehatan reproduksi dan perlindungan anak. Komitmen ini tercermin dari peningkatan anggaran yang signifikan dari tahun ke tahun.
Pada 2023, total anggaran yang dialokasikan mencapai Rp 27 juta, terdiri dari Rp 22 juta untuk Forum Anak Desa (FAD) dan Rp 5 juta untuk Gugus Tugas untuk perlindungan anak. Angka ini melonjak pada 2024 menjadi Rp 40 juta, dengan rincian Rp 20 juta untuk FAD dan Rp 20 juta untuk Gugus Tugas. Peningkatan ini menunjukkan keseriusan Desa Harjomulyo dalam membangun sistem perlindungan anak dan pendidikan kesehatan reproduksi yang berkelanjutan di tingkat desa.
“Dana itu kami gunakan untuk pelatihan remaja, sosialisasi kesehatan reproduksi, serta penguatan kader di Forum Anak Desa dan Gugus Tugas untuk perlindungan anak,” ujar Kepala Desa Harjomulyo, Kartono. “Kami ingin memastikan anak-anak di desa kami tumbuh dengan pengetahuan yang cukup tentang tubuh, hak-haknya, dan perlindungan dari kekerasan.”
Kisah Harjomulyo kemudian menjadi inspirasi bagi desa-desa lain untuk mengadopsi kebijakan serupa—termasuk Rancabango dan Cibunar (Garut), Jerowaru dan Gereneng Timur (Lombok Timur), dan Tumpak (Lombok Tengah).
Desa Mekarjaya di Kabupaten Garut juga menunjukkan komitmen kuat. Kepala Desa Asep Hendra mengalokasikan Rp 15 juta per tahun untuk mendukung Forum Komunitas Remaja Desa (FKRD) serta mengintegrasikan program kespro dalam kegiatan desa dan pengajian. Hasilnya nyata: angka kelanjutan pendidikan dari SD ke SMP melonjak dari 17 persen menjadi 93 persen. “Dana desa kami gunakan untuk kampanye cegah nikah anak, pelatihan kespro, dan penyuluhan di sekolah,” ujar Asep.
Di Lombok Tengah, Rosadi—Kepala Desa Tumpak—berani mengambil keputusan tak populer di lingkungan pemerintah desanya dengan mengalokasikan Rp 3,75 juta pada 2023 dan meningkat menjadi Rp 13 juta di 2024 untuk Forum Anak Desa (FAD), sebuah organisasi anak muda yang tak hanya menjadi wadah remaja berkumpul dan belajar, tapi juga dipercaya mengelola langsung program edukasi dan advokasi. “Saya tahu, 30–40 persen perkawinan anak itu ujungnya cerai. Maka saya prioritaskan edukasi dan advokasi bagi anak muda,” kata Rosadi.
Sementara di Langkat, Sumatera Utara, Desa Pantai Gemih rutin mengalokasikan Rp 10 juta untuk kegiatan edukasi Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) yang dijalankan bersama CIKAL—organisasi remaja di desa tersebut. “Kami tidak mau anak-anak hanya punya jalan bagus, tapi masa depannya rusak karena kurang pengetahuan,” kata Kepala Desa Pantai Gemih, Alpin. CIKAL juga dipercaya mengatur pelatihan remaja dan penyuluhan desa, serta menjadi motor penggerak literasi kespro di wilayahnya.
“Anak muda itu harus kita kasih kesempatan dan dukungan penuh. Mereka bukan cuma ikut-ikutan, tapi benar-benar bisa bawa perubahan buat desa kita. Kalau nggak kita beri ruang dan dukungan, nanti mereka cuma diam aja, nggak berkembang,” kata Alpin.
Desa Tugu di Indramayu juga mengalokasikan Rp 7 juta untuk mendukung Pusat Layanan Komunitas (PLK), organisasi anak muda lokal yang aktif melakukan diskusi remaja, kampanye sekolah aman, dan edukasi menstruasi. “Kalau anak muda diberi ruang dan anggaran, mereka bisa menunjukkan perubahan nyata,” ujar Kepala Desa Tugu, Suwanto.
Dana tersebut dikelola oleh PLK secara mandiri dan bertanggung jawab, menjadi contoh nyata bagaimana remaja dipercaya mengambil peran penting dalam pembangunan sosial di tingkat desa. Di banyak desa, anak-anak muda kini dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pelaksanaan program.
Dengan terlibatnya anak-anak muda menunjukkan bahwa transformasi ini bukan hanya soal alokasi anggaran, tetapi juga tentang perubahan paradigma. Mereka duduk di Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbang), menyusun draft Peraturan Desa, memfasilitasi pelatihan, bahkan terlibat dalam proses pemisahan perkawinan anak dan mendampingi korban kasus kekerasan.
“Kita ajak mereka ikut Musrenbang, biar tahu bagaimana proses anggaran dibuat,” tambah Suwanto. “Dulu mereka diam, sekarang berani bicara.”
Kini, banyak desa mulai menerbitkan Surat Keputusan (SK) resmi bagi forum atau organisasi remaja di tingkat desa, sebagai bentuk pengakuan atas peran strategis anak muda dalam pembangunan. Dengan adanya SK ini, organisasi seperti Forum Anak Desa (FAD), Forum Komunitas Remaja Desa (FKRD), Pusat Layanan Komunitas (PLK), maupun CIKAL tidak hanya mendapat legitimasi, tetapi juga kepercayaan untuk menyusun program, melatih fasilitator, serta menjalankan kegiatan edukatif di komunitas—terutama terkait risiko perkawinan anak, stunting, dan kesehatan reproduksi.
Peran YGSI dalam Mendorong Keterlibatan Anak Muda
Keterlibatan anak muda dalam perencanaan pembangunan tidak lepas dari peran Yayasan Gemilang Sehat Indonesia (YGSI). Melalui Program Right Here Right Now (RHRN2) dan Power to Youth (PTY), sejak tahun 2021, YGSI secara konsisten mengadvokasi pendekatan partisipatif dan inklusif di tingkat desa.
Melalui program bersama mitra lokal di Langkat, Indramayu, Jombang, Garut, Bondowoso, Jember, Lombok Timur, dan Lombok Tengah, YGSI mendorong keterlibatan anak muda dalam perencanaan pembangunan dan lahirnya kebijakan yang berpihak pada perlindungan hak-hak remaja terutama di tingkat desa.
“Kami ingin mengubah cara desa memandang remaja, dari sekadar sasaran menjadi pelaku aktif perubahan,” ujar Ely Sawitri, Direktur YGSI. “Pendidikan kespro, pencegahan kekerasan, dan pelibatan anak muda harus menjadi bagian dari prioritas pembangunan desa.”
Tidak semua desa memiliki keberanian atau inisiatif yang sama dalam melibatkan anak muda dalam pembangunan. Padahal, ruang partisipasi itu sudah tersedia. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 7 Tahun 2023 secara eksplisit memberi landasan hukum untuk mendorong partisipasi generasi muda dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa.
Sejumlah desa yang sudah mulai melibatkan anak muda menunjukkan hasil yang patut dicermati. Dengan alokasi dana yang relatif kecil—sekitar Rp 10 hingga Rp 45 juta per tahun—mereka berhasil menurunkan angka perkawinan anak, meningkatkan partisipasi pendidikan, hingga memunculkan inisiatif kepemimpinan lokal di kalangan remaja. Secara nasional, prevalensi perkawinan anak di Indonesia terus menunjukkan tren penurunan yang signifikan.
Angka tersebut mencatat penurunan dari 9,23 persen pada tahun 2021 menjadi 8,06 persen pada 2022, dan selanjutnya turun lebih jauh menjadi 6,92 persen pada 2023—melampaui target RPJMN 2024 sebesar 8,74 persen. Data dari KemenPPPA menyebutkan bahwa capaian 6,92 persen tersebut menunjukkan keberhasilan luar biasa, meskipun masih perlu diwaspadai karena dampak sosial-ekonomi yang serius. Bila dikonversi ke jumlah kasus, persentase ini setara dengan sekitar 163.000 anak menikah di bawah umur pada 2023, menunjukkan bahwa meski terjadi penurunan, jumlah absolutnya masih cukup tinggi.
Penurunan signifikan ini menunjukkan efektivitas intervensi di tingkat desa dan mendorong upaya lanjutan untuk memperkuat kolaborasi lintas sektor dalam menyebarluaskan program-program preventif, termasuk melalui forum anak dan kaderisasi lokal. Kebijakan bisa berjalan efektif jika diberi ruang untuk tumbuh dari bawah.
Pemerintah pusat perlu melihat upaya ini bukan sebagai inisiatif pinggiran, tetapi sebagai bagian dari strategi pembangunan yang lebih inklusif. Dana desa seharusnya tidak semata difokuskan pada infrastruktur, melainkan juga diarahkan pada pembangunan sumber daya manusia, termasuk anak muda.
“Kalau anak muda diberi ruang, mereka bukan hanya bisa berpartisipasi—mereka bisa memimpin. Negara perlu melihat ini sebagai investasi jangka panjang,” kata Ely Sawitri.
Di berbagai wilayah, geliat partisipasi orang muda dalam pembangunan desa semakin terlihat. Mereka terlibat aktif dalam forum anak, gugus tugas perlindungan anak, kampanye edukatif, hingga menyuarakan kebutuhan kelompok rentan di Musrenbang desa. Tantangannya kini terletak pada komitmen untuk mereplikasi pendekatan serupa di lebih banyak wilayah.
Pemerintah pusat perlu menangkap momentum ini sebagai model kebijakan yang patut diperluas secara nasional—dengan mendorong lahirnya regulasi yang secara khusus dan eksplisit mengatur pelibatan orang muda dalam proses perencanaan pembangunan, termasuk melalui mekanisme Musrenbang Orang Muda yang terlembagakan.